WISELAND, Temuan Ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px


 

WISELAND, Temuan Ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari

Kalingga
Sabtu, 10 Desember 2022

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), longsor menjadi salah satu bencana utama sepanjang tahun 2017 lalu. Dari 2.341 kejadian bencana, ada 614 peristiwa longsor selama tahun itu.


Dampak dari bencana selama itu, tercatat 377 orang meninggal dan hilang, 1.005 orang luka-luka dan 3.494.319 orang mengungsi dan menderita.


Sejak tahun 2014 hingga 2017, bencana longsor adalah bencana yang paling mematikan. Paling banyak menimbulkan korban jiwa meninggal dunia. Seringkali longsornya kecil namun menyebabkan satu keluarga meninggal dunia. Hal ini disebabkan jutaan masyarakat tinggal di daerah-daerah rawan longsor sedang hingga tinggi dengan kemampuan mitigasi yang belum memadai. 


Masih catatan BNPB, dari semua titik rawan longsor di seluruh Indonesia ada sekitar 40,9 juta jiwa yang masih tinggal di dalamnya. Bahkan jalur komersial untuk kereta dan transportasi darat pun dilingkari teror longsor. Di Jawa Barat saja, ada di 47 titik rawan longsor.


Dari catatan mengerikan itu, Ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Adrin Tohari menciptakan sebuah sistem pemantauan gerakan tanah berbasis jejaring sensor nirkabel atau WISELAND. Alat ini dikembangkan Tohari bersama ilmuwan dari Pusat Penelitian Fisika LIPI, Suryadi.


Ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Adrin Tohari bersama ilmuwan dari Pusat Penelitian Fisika LIPI, Suryadi memantau WISELAND. (dok Adrin Tohari)


Ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Adrin Tohari bersama ilmuwan dari Pusat Penelitian Fisika LIPI, Suryadi memantau WISELAND. (dok Adrin Tohari)


Intinya, alat yang mereka buat mampu mengirimkan pesan akan terjadinya longsor, sehingga bisa meminta masyarakat di sekitarnya untuk mengevakuasi diri. Selama ini, longsor tidak bisa diprediksi kejadianya, sama seperti gempa.


Sebagai ‘supermarket bencana’, Indonesia membutuhkan WISELAND. Berbincang dengan suara.com, ilmuwan lulusan Inggris dan Jepang itu bercerita mekanisme kerja alat ini. Selain itu dia juga menjelaskan kawasan rawan longsor di Indonesia.


Berikut wawancara lengkapnya:


LIPI mengembangkan alat yang bisa memberikan peringatan dini terhadap longsor bernama WISELAND. Anda ilmuwan yang memimpin proyek ini. Bagaimana proses pembuatan WISELAND?


Alat ini sudah dikembangkan lewat serangkaian penelitian sejak 2009 oleh Pusat Penelitian Fisika LIPI yang berlokasi di Kawasan Puspiptek Serpong. Tapi mereka fokus pada pengembangan jenis sensor untuk mengukur pergerakan lereng. Sensor untuk mengukur pergerakan lereng ada 2 jenis, ekstensometer dan tiltmeter.


Ekstensometer untuk mengukur pergerakan kaki lereng, sementara tiltmeter untuk mengukur kemiringan lereng. Keduanya dikembangkan Pusat Penelitian Fisika LIPI.


Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND). (dok Adrian Tohari)


Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND). (dok Adrian Tohari)


Kemudian tahun 2012, saya punya ide bersama tim, bagaimana kami bisa mengintegrasikan sebuah sistem yang terpadu. Hasilnya semua sensor bisa mengirimkan data atau pesan ke gateway, lalu mengirimkan data ke server.


Kami juga mengembangkan sensor modul untuk mengukur perubahan kadar air dan kenaikan muka air tanah. Kesemua itu, sensor kami satukan menjadi sebuah sistem yang kami sebut sebagai Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND) atau Sistem Pemantauan Gerakan Tanah Berbasis Jejaring Sensor Nirkabel.


Sehingga 3 jenis sensor yang terpasang - ekstensometer, tiltmeter, sensor modul (piezometer dan soil moisture) – menggunakan frekwensi radio 2,4 GHz. Jarak komunikasi wireless 3 jenis sensor ke gateway bisa sampai 2 Km, asalkan tidak ada penghalang.


Dalam sistem ini, gateway merupakan penerima data dari sensor. Lalu mengirimkan data ke pusat pengamatan, seperti di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat.


Di mana alat ini diuji coba?


Sistem ini sudah dikembangkan sampai tahun 2017, hasil akhirnya sudah dipasang di 3 lokasi. Di Desa Pangalengan dipasang versi sensor pertama. Kemudian sensor generasi kedua dipasang di lereng Tol Cipularang KM 100, tapi alatnya dicuri. Sehingga hanya merekam aktivitas lereng di sana hanya 6 bulan.


Kemudian alat-alat yang tidak dicuri itu diperbaiki, lalu dipindahkan pemasangannya di Jembatan Cisomang untuk memantau deformasi tiang jembatan.


Versi terakhir alat ini dipasang di Desa Clapar Banjarnegara.


Sampai kini sudah ada 3 generasi WISELAND. Di mana perbedaan inovasi masing-masing versi atau generasi sistem sensor ini?


Perbedaannya di satu daya dan dimensi alat. Daya untuk generasi pertama menggunakan baterai aki 12 volt dan menggunakan solar panel 20 watt peak (wp). Sehingga terlihatnya cukup besar ukurannya.


Lalu untuk generasi kedua menggunakan mini solar panel yang hanya berdaya kurang dari 10 wp, baterainya pun menggunakan lithium 3,7 volt.


Generasi ketiga, kami menggunakan baterai lithium berukuran AAA atau AA. Sehingga semakin lama, semakin kecil. Kami mengoptimalkan daya di sensor modul.


Bagaimana dengan bahan baku pembuatannya?


Sebesar 50 persen bahan baku bisa di dapat di Pusat Elektronik di Glodok, Jakarta. Sebagian lain impor, karena tidak bisa ditemukan di dalam negeri.


Sementara solar panel bisa dibeli di Surabaya. Sementara yang impor, teknologi komunikasinya. Selain itu potensio meter pun impor.


Berapa biaya untuk membuat WISELAND?


Kami perhitungkan sekitar Rp10 juta untuk membuat sensor. Sementara untuk membuat gateway sekira Rp25 juta karena memerlukan baterai dan solar panel besar sebanyak 100 wp.


Namun sebuah gateway bisa menerima data dari sensor di beberapa kawasan. Tergantung luasan kawasan lereng yang berpotensi longsor yang diamati.


Bagaimana kalau sensornya dipasang lebih jauh dari 2 km? Data dari sensor yang jauh itu masih bisa kirim pesan ke gateway dengan bantuan sensor terdekat atau secara estafet.


Bagaimana proses detail cara kerja alat itu?


Pertama, kami mencari daerah yang sudah diketahui tingkat kerawanan longsor. Kami pasang alat itu di sana.


Kemudian kami pasang 3 jenis sensor itu.


Sensor tiltmeter yang untuk mengukur kemiringan lereng, jika tanah bergerak maka akan merubah sudut kemiringan. Kami juga akan memasang wireless ekstensometer untuk memantau keretakan lereng. Jika ada keretakan maka kabel ekstensometer akan tertarik dan menunjukan seberapa besar laju perubahan retakan.


Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND). (dok Adrian Tohari)


Sistem kerja Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND). (dok Adrian Tohari)


Lalu, kami juga akan memasang sensor modul yang akan terhubungan dengan perubahan kadar air dan tinggi permukaan tanah.


Ketika hujan turun, sensor yang akan mendeteksi adalah sensor kadar air yang dipasang dekat permukaan tanah. Sensor ini akan mengukur tingkat kejenuhan tanah.


Ketika nilai yang dikirimkan melebihi batas ambang yang sudah kami tentukan, operator di pusat pemantauan akan memutuskan memberikan peringatan atau tidak.


Keputusan memberikan peringatakan ke masyarakat berdasarkan grafis yang disajikan lewat gateway.


Sensor selanjutnya, ekstensometer yang akan mengukur keretakan yang terjadi di lereng. Data yang terkirim itu akan memberikan peringatakan ke masyarakat untuk segera melakukan evakuasi.


Berapa lama waktu yang diperlukan untuk pengolahan data itu, hingga pesannya bisa sampai ke masyarakat?


Jika dalam kondisi hujan, bisa sampai 6 jam. Sehingga ada cukup waktu masyarakat untuk evakuasi dini.


Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND). (dok Adrian Tohari)


Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND). (dok Adrian Tohari)


Bagaimana jika longsor terjadi saat tidak dalam keadaan hujan atau sedang kemarau? Apakah bisa juga diukur dengan alat itu?


Bisa.


Longsor yang terjadi saat kemarau biasanya disebabkan aktivitas manusia. Terutama di lereng yang terdapat aktivitas penggalian atau tambang pasir.


Apakah alat ini sudah bisa dibuat massal?


Sudah bisa diproduksi massal, karena prototipenya sudah skala industri.


Tapi belum ada industri yang mau memproduksi. Hanya saja sudah ada stakeholder dari perusahaan Jepang yang ingin mengkombinasikan teknologi alat ini dengan alat yang mereka punya.


Apa bedanya dengan alat yang dimiliki Jepang?


Di Jepang, pendeteksi longsor digunakan untuk mendeteksi material longsoran. Karena di Jepang banyak longsoran aliran bahan rombakan. Alat itu mendeteksi material longsoran ke arah kaki lereng.


Sementara WISELAND LIPI ini sifatnya mendeteksi sekaligus memberikan peringatan.


Apakah alat serupa WISELAND LIPI sudah ada di dunia?


Sudah ada, di Jepang, Italia dan Jerman. Tapi rata-rata mereka mengukur longsoran lereng bebatuan. Tanah labil di sana lebih sedikit.


LIPI WISELAND mempunyai keunggulan teknologi yaitu dapat menjangkau daerah pemantauan yang luas  berdasarkan jejaring sensor, menyajikan data dalam waktu nyata dengan akurasi tinggi dan memiliki catu daya mandiri menggunakan tenaga panel surya dan baterai kering atau lithium.


LIPI WISELAND dapat digunakan tidak hanya untuk memantau ancaman gerakan tanah atau tanah longsor tetapi juga untuk memantau kondisi keamanan struktur tiang bangunan tinggi seperti jembatan dan gedung bertingkat.

 


Di mana daerah rawan longsor di Indonesia?


Hampir semua daerah di Indonesia rawan longsor, terutama perbukitan. Mulai dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat mempunyai tingkat kerentanan longsor tinggi.


Di Pulau Jawa, Jawa Barat dan Jawa Tengah paling tinggi kerentanan longsor. Karena kondisi geoglogi mempengaruhi tingkat kepadatan tanah dan pelapukan bebatuan. Di sana juga banyak lereng curam.


Di Sulawesi dan Papua juga ada. Tapi yang paling sering terjadi di Sumatera dan Jawa.


Ada dua jenis longsoran di Indonesia, longsoran dangkal dan dalam. Longsoran dangkal terjadi di 2 meter lapisan tanah. Longsor terjadi karena tidakkuatnya akar pohon untuk menopang. Semisal terjadi di Puncak, Bogor kemarin.


Sementara longsoran dalam dipengaruhi intensitas air hujan yang meningkatkan muka air tanah di lereng. Kenaikan muka air tanah menimbulkan gaya dorong air yang menyebabkan lereng itu labil dan longsor.


Semua titik longsor harus dipasang alat ini….


Betul, harus.


Terlebih kawasan yang sudah dipetakan sebagai rawan longsor oleh badan gelogi.  Selain itu dipasang di lereng yang dekat pemukiman padat.


Sebelum ada alat ini, badan geologi melalui PVMBG mengeluarkan peta kerentanan gerakan tanah. Peta itu dikombinasi dengan peta curah hujan dari BMKG. Sehingga saat musim hujan bisa dikasih tahu daerah yang punya kerentanan longsor. Lalu disosialisasikan ke BPBD untuk memberikan informasi ke masyarakat.


Tapi hanya memprediksi, kita tidak tahu kapan terjadi longsor. Longsor bisa kapan saja terjadi.


Anda juga meriset soal jalur kereta. Kini pemerintah lagi membangun jalur kereta cepat Jakarta – Bandung atau juga Jakarta - Surabaya. Apakah ada potensi longsor di sepanjang jalur yang dilalui?


Untuk jalur Jakarta-Bandung, masuk ke jalur Purwakarta tingkat kelongsorannya sangat tinggi. Di daerah itu juga dilewati oleh patahan atau sesar gempa. Tapi sesar itu perlu diteliti, apakah masih aktif atau tidak.


Daerah Purwakarta memang rentan longsor karena kondisi geologinya terdapat jenis batuan yang reaktif terhadap air. Ketika kena air hujan, tanah akan menjadi bubur dan menyebabkan labil. Bebatuannya juga jadi terpecah-pecah, sehingga kekuatannya akan berkurang.


Selain itu daerah Padalarang juga rawan longsor.


Sementara masuk daerah Bandung, permasalahannya adalah tanah lunak. Karena Bandung dulunya adalah kawasan bekas danau tua. Sehingga ada masalah di pondasi yang tertancap ke tanah.


Lalu jika kereta cepat Jakarta-Surabaya, kawasan Garut, Tasikmalaya, dan Jawa Tengah perlu diwaspadai. Semua daerah perbukitan rawan longsor. Harus diantisipasi dengan mengupas lereng dan membangun terowongan.


Semua kawasan itu perlu dipasang WISELAND.


Biografi singkat Adrin Tohari


Adrin Tohari merupakan ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia salah satu ilmuwan geoteknologi yang fokus meneliti soal longsor.


Adrin mendapatkan gelar sarjana di ilmu geologi di The Royal School of Mines (Imperial College), London, Inggris. Lalu master dan doktor geoteknologi dia raih di Okayama University, Jepang. Adrin aktif terlibat dalam banyak proyek penelitian dan pengembangan di bidang pergerakan tanah longsor. Terutama penelitian tentang longsor yang diinduksi curah hujan, mekanika tanah residu tak jenuh, pemodelan stabilitas rembesan tak jenuh, perubahan iklim dan stabilitas lereng.



Sumber : suara.com, 19 Februari 2018