AHY: DENGARKAN SUARA RAKYAT

Advertisement

Masukkan script iklan 970x90px


 

AHY: DENGARKAN SUARA RAKYAT

Kalingga
Minggu, 10 Juni 2018









ORASI  AGUS
HARIMURTI YUDHOYONO  KOMANDAN
KOGASMA PEMENANGAN PEMILU 2019. PARTAI
DEMOKRAT JAKARTA
CONVENTION CENTER, 9 JUNI 2018. 





Assalamualaikum
WR. WB. 
Hadirin
yang saya muliakan,





Pertama-tama,
marilah kita bersyukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
nikmat dan keberkahan-Nya. Sambil terus menjalankan ibadah di bulan suci
Ramadhan, mari kita sejenak melakukan refleksi terhadap apa yang terjadi di
negeri kita akhir-akhir ini.





Bulan
lalu, kita menyaksikan sejumlah peristiwa yang cukup mengguncang negeri dan
menyita perhatian internasional. Dalam situasi ekonomi yang tidak mudah,
masyarakat kita dihentakkan oleh gangguan dan ancaman keamanan.





Insiden
di Mako Brimob Kelapa Dua yang diikuti serangkaian bom bunuh diri di sejumlah
gereja di Surabaya, serta terjadinya serangan teror terhadap aparat keamanan di
beberapa wilayah adalah peringatan keras untuk kita semua.





Kita
merasakan duka cita yang mendalam atas jatuhnya korban jiwa. Utamanya, mereka
yang sedang beribadah. Dan mereka yang sedang menjalankan tugas. Kita juga
mengutuk keras, segala bentuk aksi teror di muka bumi ini. Kita tidak boleh
kalah menghadapi terorisme dan tujuan-tujuannya.





Kita
kalah, apabila aksi teror itu membuat kita terpecah belah dan saling mencurigai
satu sama lain. Kita juga kalah, apabila dalam upaya melawan terorisme ini kita
justru terpancing untuk menggunakan cara-cara teroris. Cara-cara yang berada di
luar hukum, dan melanggar hak-hak dasar warga negara.





Terrorism
has no religion. Terorisme tidak punya agama. Terorisme adalah musuh semua
agama. Terorisme musuh kita semua.





Kita
mengapresiasi langkah-langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
Baik melalui aksi penanggulangan terorisme oleh TNI/Polri di lapangan, maupun
upaya legislatif melalui pengesahan Undang-Undang Anti Terorisme.





Tetapi
apresiasi saja tidak cukup. Kita jangan diam!





Sebagai
warga bangsa, kita patut membantu upaya pemerintah dan DPR untuk mengatasi
permasalahan keamanan ini. Negeri ini milik kita semua. Bukan hanya milik
mereka yang berada di pemerintahan maupun di parlemen. Artinya, kita semua punya
hak dan kewajiban. Serta secara moral, turut bertanggung jawab untuk mencari
solusi terhadap berbagai persoalan di negeri ini. Tidak hanya dalam isu-isu
keamanan negara, tetapi juga aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara lainnya.





Saya
meyakini, untuk memahami permasalahan dan aspirasi rakyat, kita semua harus
sebanyak-banyaknya turun ke lapangan. Bertemu langsung, menyapa, dan
mendengarkan suara rakyat. Suara yang jujur. Suara yang apa adanya. Dari hati,
tanpa dimanipulasi. Malam hari ini, izinkan saya mewakili segenap kader Partai
Demokrat di manapun berada untuk menyampaikan dan menggemakan suara rakyat
Indonesia.





Saudara-Saudara,





Tiga
hari setelah pidato politik pada Rapimnas Partai Demokrat bulan Maret yang
lalu, saya langsung turun ke lapangan. Mengunjungi masyarakat Jawa Barat, Jawa
Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara,
Lampung, Sumatera Utara, dan tentunya DKI Jakarta. Ini melengkapi perjalanan
saya keliling nusantara selama satu tahun terakhir, ke ratusan kabupaten/kota
di 22 provinsi, dari Aceh hingga Papua.





Dalam
perjalanan itu, saya bertemu dengan berbagai komunitas dan lapisan masyarakat.
Petani, nelayan, peternak, buruh (termasuk buruh outsourcing), guru (termasuk
guru honorer), pedagang pasar dan pelaku UMKM, ibu-ibu rumah tangga, serta
anak-anak muda (baik yang masih sekolah dan kuliah maupun mereka yang sedang
mencari kerja).





Dari
interaksi dengan kelompok-kelompok masyarakat itu, saya mendengar, mencatat,
dan ikut merasakan apa yang menjadi kegundahan mereka. Satu hal yang mengusik
perasaan saya, dan saya yakin juga perasaan Saudara-Saudara, seringkali, apa
yang rakyat rasakan tidak selalu sejalan dengan apa yang media beritakan.





Saat
ini, terasa sekali porsi pemberitaan tentang Pemilihan Presiden 2019 jauh lebih
besar ketimbang pemberitaan tentang persoalan-persoalan aktual yang dihadapi
rakyat. Fokus pemberitaan tentang Capres-Cawapres ini sangat menyita perhatian
publik dari berbagai kalangan. Mulai dari obrolan di warung-warung kopi,
pengajian, arisan, sampai dengan di kampus-kampus.





Bahkan,
dalam jamuan-jamuan internasional tak jarang Duta Besar negara sahabat bertanya
sambil berbisik: “Pak Agus, who is the strongest VP candidate for 2019? And,
who will Democrat support for President?” – Siapa calon Wakil Presiden terkuat
untuk Pilpres 2019? Dan siapa calon Presiden yang akan didukung oleh Partai
Demokrat?”





Pilpres
2019 tentulah sangat penting, dan menentukan masa depan bangsa ini lima tahun
mendatang. Tetapi yang harus kita ingat, kesuksesan penyelenggaraan Pilpres
2019 ini akan sangat ditentukan oleh stabilitas politik, sosial, keamanan, dan
ekonomi saat ini.





Itulah
mengapa, paling tidak sampai dengan hari ini Partai Demokrat belum menentukan
dengan siapa akan bekerjasama, atau berkoalisi. Karena Partai Demokrat
memahami, ada hal yang lebih mendesak dari sekedar lobi-lobi politik untuk
bagi-bagi kekuasaan.





Pada
saatnya, Partai Demokrat akan menentukan koalisi dengan kelompok yang memiliki
kesamaan visi dan misi. Yang mengutamakan rasa aman, keadilan, dan hak hidup
rakyat.





Untuk
itulah, pada kesempatan ini saya mengajak para kader Partai Demokrat,
rekan-rekan media, dan segenap masyarakat Indonesia untuk mendengar, apa yang
menjadi persoalan mendesak bangsa ini.





Ini
bukanlah kecaman bagi pemerintah. Kita tahu, tidaklah mudah untuk mengelola
negara yang besar ini, dengan segala kompleksitas persoalannya. Ini otokritik
bagi kita semua rakyat Indonesia.





Hadirin
yang saya hormati,





Bagi
saya, berada di tengah-tengah rakyat adalah kemewahan yang sesungguhnya, dimana
“muka ketemu muka, hati ketemu hati, gagasan ketemu gagasan”. Berdialog dan
mendengarkan keluhan mereka secara langsung, tidaklah tergantikan. Betapapun
majunya teknologi informasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang.





Hasil
dari pertemuan-pertemuan itu saya tindaklanjuti dengan diskusi bersama para
kepala daerah, wakil rakyat, akademisi, pelaku dunia usaha, juga para politisi
senior, dan tokoh nasional.





Intinya,
kita sepakat isu ekonomi harus menjadi prioritas bangsa saat ini. Jika kita
peras isu ekonomi ini, maka ada dua persoalan utama, yaitu: daya beli dan
lapangan kerja.





Pertama,
daya beli.





Meski
angka-angka indikator ekonomi makro relatif baik, namun pada kenyataannya di
lapangan, masyarakat merasakan hal yang berbeda.





Hampir
di setiap tempat yang kami datangi, rakyat berteriak, “Pak, bagaimana ini?
Harga-harga kebutuhan pokok naik! Barang-barang makin mahal.” Bahkan, ada satu
perkataan seorang ibu di Jawa Tengah yang selalu terngiang di telinga saya,
“Jangankan untuk sekolah anak, untuk hidup sehari-hari saja, susah.”





Di
satu sisi, harga-harga kebutuhan naik secara signifikan. Di sisi lain,
kemampuan dan kesempatan masyarakat makin terbatas untuk memperoleh penghasilan
yang layak.





Sebagai
contoh: di laut Pangandaran, para nelayan menunjukkan kepada saya minimnya
tangkapan mereka. Petani garam di Kabupaten Cirebon, mengeluhkan melimpahnya
garam impor. Buruh, di berbagai tempat mengadukan upah minimum mereka yang
sulit mengejar kenaikan harga barang. Para pekerja honorer – guru dan bidan –
mengadukan, ketidakpastian masa depan mereka yang tidak kunjung diangkat
menjadi PNS.





Sekarang,
mari kita lihat gambar besarnya. Konsumsi rumah tangga menurun. Padahal,
konsumsi rumah tangga merupakan, komponen utama dalam ekonomi kita, mewakili
lebih dari setengah Produk Domestik Bruto (PDB) kita.





Ada
yang berpendapat, bahwa penurunan konsumsi rumah tangga ini, akibat pergeseran
pola pembelian dari ritel fisik menjadi online. Tapi faktanya, ritel online
hanya mewakili satu hingga dua persen dari nilai total penjualan barang
konsumsi. Angka ini tidak bisa menutupi turunnya pembelian ritel fisik.





Harus
diakui, daya beli rakyat memang menurun. Utamanya, rakyat berpenghasilan rendah
dan kurang mampu.





Indikator
lain dari menurunnya daya beli adalah penjualan sepeda motor. Kita tahu, betapa
akrabnya masyarakat dengan sepeda motor. Bahkan jutaan sepeda motor digunakan
sebagai moda transportasi untuk mudik Lebaran.





Saya
sempat berbincang dengan para sales sepeda motor. Mereka mengeluh angka
penjualan turun drastis. Angka gagal kredit naik. Target penjualan dari bulan
ke bulan makin sulit dicapai. Data penjualan Gaikindo (Gabungan Industri
Kendaraan Bermotor Indonesia) menunjukkan, selama tiga tahun terakhir, penjualan
sepeda motor turun dua juta unit. Dari 7,9 juta unit di tahun 2014 menjadi 5,9
juta unit di tahun 2017.





Selain
itu, biaya hidup dan pengeluaran rumah tangga juga terus meningkat. Contohnya,
kenaikan tarif listrik. Tarif listrik naik lebih dari 140 persen, antara bulan
Desember 2016 hingga Juli 2017. Pencabutan subsidi listrik untuk golongan 900
Voltase Ampere, berdampak terhadap hampir 19 juta pelanggan rumah tangga. Ini
tentu secara langsung berpengaruh terhadap daya beli rakyat.





Saudara-Saudara,





Kita
mengapresiasi kebijakan pemerintah yang memberikan THR, serta gaji ke-13 bagi
para PNS serta anggota TNI dan Polri. Baik mereka yang masih aktif maupun telah
pensiun. Kita berharap, tambahan tersebut dapat membantu meningkatkan daya beli
serta konsumsi rumah tangga.





Meski
demikian, yang harus menjadi perhatian utama adalah daya beli saudara-saudara
kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Jumlahnya mencapai 28 juta orang.
Juga mereka yang masih rentan atau rawan kemiskinan, yang jumlahnya mencapai
hampir 70 juta orang.





Total
jumlah masyarakat miskin dan rawan miskin ini setara dengan hampir 40 persen
populasi Indonesia. They are the bottom 40. Guncangan ekonomi sedikit saja,
akan mendorong mereka ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Jangan lupakan
mereka!





Mereka,
umumnya tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak bisa mengharapkan THR. Mereka
perlu perhatian dan bantuan langsung dari pemerintah. Ini tidak bisa
ditunda-tunda!





Saudara-saudara
sekalian,





Isu
kedua lapangan kerja.





Pekerjaan
bukan hanya soal memperoleh pendapatan. Tetapi, juga harga diri dan penerimaan
sosial. Itulah sebabnya, pengangguran dan lapangan kerja selalu menjadi
persoalan sensitif.





Ketika
saya bertemu dengan masyarakat, banyak di antaranya adalah anak-anak muda,
generasi Milenial. Mereka yang belum bekerja, merasa cemas, apakah mereka bisa
menemukan pekerjaan yang baik? Sedangkan mereka yang sudah bekerja merasa
khawatir, apakah mereka bisa terus bekerja?





Secara
kuantitas, lapangan kerja yang tercipta setiap tahunnya, belum bisa mengimbangi
jumlah pencari kerja baru.





Dalam
hal kualitas angkatan kerja, kita juga masih punya PR besar. Lebih dari 50 juta
orang angkatan kerja kita berpendidikan sekolah dasar. Dengan fakta ini,
rasanya tidak mudah bagi kita untuk bersaing dalam kompetisi global.





Saudara-Saudara,





Isu
lain yang saya temui adalah kekhawatiran tentang Tenaga Kerja Asing (TKA). Kaum
buruh dan pekerja yang saya temui di lapangan, mengkritisi Perpres No. 20 tahun
2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang dirasakan kurang berpihak pada
mereka.





Baru-baru
ini, saya kembali dari Kendari Sulawesi Tenggara. Saya melihat sendiri, betapa
banyak TKA yang bekerja di sana. Bukan hanya sebagai tenaga ahli atau dalam
kapasitas manajerial saja, tetapi juga pada tingkatan buruh, supir, dan pekerja
lapangan lainnya. Pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya mampu dilakukan oleh
tenaga kerja kita.





Ini
dikonfirmasi oleh hasil investigasi Lembaga Ombudsman tahun 2017, terkait isu
TKA ilegal di berbagai provinsi. Ombudsman menemukan terjadinya diskriminasi
perlakuan, hingga gaji yang tidak berimbang antara TKA dan tenaga kerja lokal
untuk jenis pekerjaan yang sama. Bayangkan, dalam sebulan, supir TKA dapat 15
juta rupiah, sedangkan, supir tenaga kerja kita hanya dapat lima juta rupiah
saja.





Saya
tekankan, ini soal rasa keadilan. Kita wajib mendahulukan hak rakyat,
memperoleh kesempatan kerja di negeri sendiri. Kita tidak anti asing, tapi kita
tidak terima jika rakyat dikalahkan, dinomorduakan atau hanya jadi penonton di
negeri sendiri.





Demikianlah,
persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat kita saat ini. Memang
ada berbagai mahzab dalam memandang isu-isu ekonomi tersebut, namun saya yakin
kita bisa menyepakati common interest, kepentingan bersama, sebagai landasan
kita bekerjasama demi rakyat Indonesia.





Hadirin
yang saya muliakan,





Persoalan
keamanan dan ekonomi yang tadi kita bicarakan adalah muara dari persoalan
bangsa yang lebih fundamental.





Persoalan
fundamental itu saya bicarakan bulan lalu, pada acara peringatan Reformasi
Nasional yang digelar oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia).





Pada
kesempatan itu, saya satu panggung dengan Mbak Puan Maharani, Mbak Yenny Wahid,
dan Mas Ilham Habibie. Kami menyampaikan refleksi 20 tahun Reformasi,
berdasarkan perspektif dan pengalaman masing-masing. Secara khusus, saya
berbicara tentang keberhasilan dan tantangan Reformasi TNI/Polri.





Saya
katakan, TNI telah memenuhi amanat Reformasi untuk meninggalkan politik praktis
dan bisnis militer, serta memisahkan Polri dari ABRI ketika itu. TNI kembali
fokus pada jati dirinya, sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara
Nasional, dan Tentara Profesional.





Saya
juga katakan, keluarnya saya, AHY, dari institusi TNI yang amat saya cintai,
adalah wujud komitmen dan konsistensi seorang Perwira terhadap semangat
Reformasi TNI. Jika ingin berpolitik, keluar dari TNI. Jika ingin di TNI,
jangan berpolitik. Kita berharap, ini juga berlaku bagi seluruh aparat Polri.





Sikap
ini merupakan bagian dari etika berpolitik.





Meskipun
usia relatif muda, sedapat mungkin saya juga ingin memberikan contoh yang baik
dalam kehidupan berpolitik.





Etika
berpolitik juga terkait dengan kebesaran jiwa dalam menyikapi hasil sebuah
kompetisi. Sangat sering kita mendengar deklarasi “siap menang, siap kalah”
sesaat sebelum dimulainya kontestasi politik, apakah itu Pilkada, atau Pemilu.
Namun pada praktiknya, banyak yang sangat siap untuk menang, tapi sangat tidak
siap untuk kalah. Secara kesatria, mengakui kekalahan yang kita alami dan
menerima kemenangan lawan kita, juga merupakan bagian dari etika berpolitik.





Persoalan
etika inilah yang paling fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ini bukan semata-mata soal benar atau salah, tetapi juga, soal patut atau tidak
patut, persoalan tentang baik atau buruk, serta hak dan kewajiban.





Sementara
itu Saudara-Saudara, etika berbangsa dan bernegara, sangat ditentukan oleh
karakter bangsa kita sendiri.





Kita
sadari, sifat-sifat luhur bangsa Indonesia kian hari kian memudar. Saat ini,
sepertinya mudah sekali kita saling menyalahkan satu sama lain. Semakin banyak
yang mendahulukan ego masing-masing, merasa paling benar, ketimbang
mengedepankan kebesaran hati dan keikhlasan.





Sulit
rasanya, negara yang besar dan majemuk ini, bisa bersatu dan maju jika yang
dikedepankan adalah egoisme dan sikap ingin menang sendiri.





Kita
perlu meneladani para Bapak Bangsa dan generasi-generasi pendahulu yang
berhasil mengatasi ego masing-masing, dengan karakter yang mengedepankan
persatuan. Karakter inilah yang menghadirkan berbagai momentum penting, dan
menentukan dalam sejarah kita. Mulai dari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah
Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, sampai dengan Reformasi Nasional
1998. Karakter ini pula, yang seharusnya menjadi hulu dari etika politik
kebangsaan kita.





Dengan
demikian, pembangunan karakter bangsa untuk membentuk manusia Indonesia yang
beretika dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi sangat mendesak disamping
pembangunan fisik.





Bangunlah
jiwanya! bangunlah badannya!





“Bangunlah
jiwanya bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”





Sebenarnya,
pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagian besar rakyat menaruh
harapan kepada program pembangunan manusia Indonesia. Ketika pemerintah saat
ini berhasil membangun ribuan kilometer jalan, ratusan jembatan, dan proyek
infrastruktur lainnya, lantas, kita patut bertanya: “Apa kabar, Revolusi
Mental?”





Kita
ingat, Revolusi Mental adalah konsep pembangunan manusia Indonesia yang gencar
dijanjikan di saat kampanye Pilpres 2014. Dalam perjalanannya, nampaknya kurang
mendapatkan perhatian kita semua. Kita larut dalam hiruk pikuk pembangunan
infrastruktur.





Padahal,
konsep ini sangat vital sebagai upaya mengembalikan karakter bangsa sesuai
bentuk aslinya, yaitu karakter yang santun, berbudi pekerti, dan bergotong
royong. Karakter yang tentunya menjadi kekuatan dalam membangun Indonesia yang
kokoh dalam persatuan, dan sejahtera dalam kemajuan.





Menurut
saya, pembangunan karakter bangsa ini yang harus terus menerus dilakukan dan
disesuaikan dengan perkembangan zaman. It is a never-ending journey. Karena
perubahan, perbaikan, dan pembaharuan adalah keniscayaan yang abadi.





Hadirin
yang saya muliakan,





Terkait
dengan karakter bangsa tadi, saya berpendapat, Ramadhan adalah sarana latihan
yang tepat untuk membangun karakter diri dan bangsa ini. Kita kembali
diingatkan tentang ilmu dan rumusan kehidupan bahwa segala sesuatunya selalu
ada batasan dan kepatutannya.





Jika
tangan ini bagaikan kayu,kemudian diberi beban 10 Kg, kayu ini tetap kokoh.
Jika bebannya ditambah menjadi 20 Kg, kayu ini tetap dapat menopang beban itu.
Ketika beban ditambah lagi menjadi 30 Kg, mulai terdengar bunyi “Krek!” Lalu,
ketika beban itu bertambah menjadi 40 Kg, seketika kayu itu patah.





Itulah
analogi rumusan tentang batasan. Baik batas atas, maupun batas bawah.





Di
bulan suci ini, kita melatih diri untuk makan di waktu Sahur, ketika perut
belum merasa lapar. Dan berhenti makan ketika waktu Subuh telah tiba. Ketika
kita merasa lapar dan haus, kita tidak boleh makan dan minum sebelum adzan
Maghrib tiba. Intinya, makan dan minum ada batasnya. Begitu pula dengan lapar
dan haus, ada batasnya.





Jikalau
kita tidak mengetahui dan merasakan sendiri, bahwa lapar ada batasnya; kita
tidak akan peduli dan memahami mengapa ada orang mencuri di negeri ini hanya
untuk sekadar mengisi perutnya dan juga perut anak-istrinya yang kosong. Ingat,
orang-orang yang lapar sanggup, dan akan melakukan apapun untuk mempertahankan
hidupnya dan orang-orang yang dicintainya. Tidak peduli benar atau salah, baik
atau buruk.





Pemahaman
atas batasan-batasan ini, akan mendorong kita untuk peduli dan beramal kepada
sesama tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan. Inilah
yang kita wujudkan dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah.





Sebagai
kelompok masyarakat mayoritas di negeri ini, umat Islam memiliki tanggung jawab
moral terbesar untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar di masyarakat.
Karena kelaparan, kebodohan, serta kemiskinan dan ketimpangan, bukan hanya
diderita umat Islam saja, tetapi juga umat-umat yang lain di negeri ini.





Tanggung
jawab moral ini yang mengantarkan kita pada hakikat Islam sebagai “Rahmatan Lil
Alamin” rahmat bagi semesta alam. Hal ini, merupakan wujud kecintaan kita
kepada Rasulullah Muhammad SAW dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.





Selain
itu, kepedulian dan semangat berbagi ini, merupakan wujud pengamalan sila ke-5
dari Pancasila. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini cerminan
bahwa pengamalan Pancasila sejatinya, harus tumbuh dari bawah ke atas, tidak
hanya didikte dari atas ke bawah.





Saudara-saudaraku
yang saya cintai dan muliakan,





Jika
makan dan minum ada batasnya, lapar dan haus ada batasnya, hawa nafsu ada
batasnya, mengapa kemiskinan di negeri ini tidak ada batasnya? Egoisme tidak
ada batasnya? Dan bahkan, seolah-olah kekuasaan tidak ada batasnya?





Pastilah
semua ada batasnya. Jika melebihi batas, maka akan patah seperti kayu tadi.





Inilah
mengapa, sepuluh tahun yang lalu, dalam situasi krisis ekonomi global 2008, di
era kepemimpinan Presiden SBY yang didukung penuh oleh Partai Demokrat,
pemerintah memberikan Bantuan Langsung Sementara kepada saudara-saudara kita
yang berkategori miskin. Besarannya adalah 300 ribu rupiah per bulan, per
keluarga.





Angka
300 ribu rupiah ini, merupakan batas bawah untuk memenuhi kebutuhan dasar
sebuah keluarga, berdasarkan hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS).
Jadi, jika ada pihak-pihak yang bersuara bahwa memberikan Bantuan Langsung
Sementara kepada rakyat miskin ini sebagai proses yang tidak mendidik, berarti
mereka tidak memahami atau bahkan tidak peduli dengan rumusan kehidupan tentang
batasan tadi.





Bagaimana
kita mau mendidik masyarakat ketika perutnya lapar? Ketika kaum ibu menangis
karena tidak mampu membeli susu untuk anaknya.





Oleh
karena itu, dalam sisa waktu Ramadhan ini, saya mengajak kepada diri sendiri
dan kita semua, untuk terus mempelajari dan memahami rumusan kehidupan tentang
batasan-batasan tadi. Pemahaman ini yang akan mencerahkan kita, tentang etika,
koridor baik atau buruk, patut atau tidak patut, serta hak dan kewajiban. Pemahaman
ini pula, yang akan membangun kesadaran beretika dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.





Hadirin
sekalian,





Dalam
konteks yang lain, kebebasan individu juga ada batasnya. Kebebasan bukan
berarti kebablasan. Kebebasan individu harus diletakkan dalam kerangka besar
kepentingan bangsa dan negara.





Demikian
pula dengan kekuasaan, dalam konteks tata negara, kekuasaan tidak tak terbatas.
Tidak boleh bersifat absolut. Kekuasaan ada batasnya. Jangan menghalalkan
segala cara. Negara dan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang menggunakan
kekuasaannya untuk merampas kebebasan individu.





Jika
para pemimpin menghormati dan menyayangi rakyatnya, maka rakyat juga akan
menghormati dan menghargai para pemimpinnya. Kondisi seperti ini, harus
sama-sama kita wujudkan demi kokohnya persatuan dan kerukunan bangsa serta,
demi cita-cita besar kita bersama.





Persatuan
dan kerukunan merupakan fondasi dari stabilitas politik, sosial, dan keamanan
nasional. Ini memberi ruang dan kesempatan kepada pemerintah dan seluruh elemen
bangsa untuk mengatasi persoalan ekonomi, maupun berbagai persoalan krusial
rakyat lainnya.





Terjaganya
stabilitas politik, sosial, dan keamanan inilah, yang menjadi kunci
keberhasilan pemerintahan Presiden SBY yang didukung penuh oleh Partai Demokrat
dalam menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata selama 10 tahun
kepemimpinannya.





Ingat,
pertumbuhan ekonomi tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa berjalan dengan
sendirinya. Persoalan ekonomi selalu berkait dengan stabilitas politik, sosial,
dan keamanan. Bayangkan, apakah mungkin roda ekonomi akan bergerak ketika
pembeli takut pergi ke pusat perbelanjaan akibat ancaman bom di tempat
keramaian? Ketika penjual takut ke pasar untuk berdagang akibat maraknya
penjarahan karena krisis sosial?





Saudara-saudara,





Karena
itu, Partai Demokrat tidak memberikan toleransi kepada pihak manapun yang ingin
memecah belah persatuan dan melukai kerukunan bangsa, karena hal ini akan
mengganggu stabilitas politik, sosial, dan keamanan. Sekali lagi, kita tidak
memberikan toleransi kepada pihakmanapun yang ingin memecah belah persatuan dan
melukai kerukunan bangsa dengan isu atau narasi apapun.





Inilah
dasar pemikiran dan ikhtiar Partai Demokrat untuk menjadi bagian dari solusi
atas keluhan dan permasalahan rakyat saat ini. Sudah sepatutnya, hajat hidup
rakyat sendiri menjadi nyawa dari perjuangan kita dalam berpolitik.





Lalu,
apa yang dapat kita lakukan?





Mari,
kita manfaatkan momentum Ramadhan ini untuk mengingat kembali hakikat hidup
manusia, “Khoirunnas Anfa ‘Uhum Linnas” yaitu sebaik-baiknya manusia adalah
yang bermanfaat untuk orang lain. Tidak sepatutnya, kita hanya duduk membahas
permasalahan tapi tidak memikirkan jalan keluarnya. Sekali lagi jangan diam! Do
something!





Pertama,
solusi jangka pendek.





Untuk
membantu meningkatkan daya beli masyarakat, dua hari lalu, kita luncurkan
program: “Gerakan Nasional Pasar Murah Partai Demokrat”. Pasar Murah ini, Insya
Allah akan kita gelar pada tanggal 14 setiap bulannya di seluruh provinsi.





Tujuan
utama dari Pasar Murah ini adalah untuk mendorong tumbuhnya semangat berbagi,
dari kelompok masyarakat yang mampu agar ikut membantu masyarakat yang tidak
mampu. Paling tidak, ikhtiar ini dapat meringankan sebagian rakyat kita dari
tekanan ekonomi yang mereka alami sehari-hari.





Kemudian,
berkaitan dengan isu-isu kritis di bidang politik, sosial, dan keamanan; kami
berpendapat, perlunya diadakan dialog atau “Rembug Nasional”, lintas partai,
lintas identitas, dan lintas generasi, untuk memikirkan solusi yang tepat dan
terbaik untuk rakyat.





Kedua,
solusi jangka panjang.





Kita
perlu membangun karakter bangsa yang mengakar pada nilai-nilai Ketuhanan dan
jati diri bangsa yang luhur. Secara bersamaan, kita bangun generasi bangsa yang
memiliki kapasitas intelektual dan kompetensi yang unggul. Keduanya merupakan
kunci dalam memenangkan Indonesia pada kompetisi global Abad 21. Dengan upaya
ini, Insya Allah, Indonesia akan mencapai sebuah peradaban yang tinggi dan
mulia, dimana seluruh rakyatnya bisa menikmati kehidupan yang aman, damai,
adil, maju, dan sejahtera.





Kita
sadar, ini bukan pekerjaan semalam. Kita tidak tahu apakah kita masih hidup
atau tidak untuk menyaksikan hasilnya. Tetapi, jika kita tidak memulainya,
mustahil kita berharap hasil. Hasil tidak pernah mengkhianati usaha.





Akhirnya,





Mari
kita bersatu bergandengan tangan menjadi bagian dari solusi, mengatasi berbagai
persoalan yang tengah dihadapi oleh bangsa ini. Mari kita dorong pemerintah
untuk terus mendengarkan suara rakyat, serta fokus dalam mengambil
langkah-langkah kepemimpinan yang efektif, demi membawa perubahan-perubahan ke
arah yang lebih baik.





“Yang
sudah baik, lanjutkan! Yang belum baik, perbaiki!”





Dan
yang lebih penting lagi,





“Negara
adil, rakyat sejahtera!”





Terimakasih.





Tuhan
bersama kita!





Wassalamualaikum
WR. WB